About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful.

Sunday, September 13, 2009

Izza Ahsin Sidqi

Mungkin di antara pembaca terasa asing mendengar nama diatas yang sengaja saya tampilkan sebagai judul tulisan. Siapa sebenarnya figur Ihza Ahsin. pengamat politik, pengamat ekonomi, profesor, wartawan atau apa dan siapa ia?. Izza adalah seorang anak (yang sekarang berusia 17 tahun) yang berani berontak, keluar dari pakem dan bukan anak yang biasa. Di usia 15 tahun ia telah menetapkan tekadnya untuk tidak melanjutkan sekolah. Baginya sekolah adalah penjara yang menyesakkan, dan membuatnya tidak bisa menjadi dirinya sendiri.



Pengalaman sekolah yang tidak menyenangkan seringkali masih dialami siswa di seluruh Indonesia. Tamparan, pukulan atau kalimat-kalimat yang merendahkan masih sering dikeluarkan sebagai ‘hadiah’ bagi murid yang tidak selesai (bisa) mengerjakan tugas. Guru seolah-olah menjadi pengganti Tuhan ketika berada di kelas. guru berhak menghukum, memaki bahkan memukul seorang anak jika ia tidak dapat mengerti instruksi yang diberikan.

Izza -begitu ia biasa dipanggil- menemukan sesuatu yang sangat disenangi. Ia sangat senang membaca berbagai macam buku. Novel, agama, ilmu pengetahuan, filsafat dan banyak buku lainnya seperti sebagai sepotong roti baginya. Hal itu bisa dimaklumi karena orang tua izza juga merupakan pendidik. Ada sekitar 600 buku lebih yang diberikan orang tua izza kepadanya. Dari kesenangannya membaca itulah ia akhirnya menetapkan cita-citanya menjadi penulis besar dunia.

Tekadnya untuk menjadi penulis semakin besar hingga akhirnya saat ia duduk di bangku SMP dengan berani ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Bagai mendapat petir di siang bolong, orang tua izza tidak dapat menerima keputusan anaknya (walaupun sebenarnya orang tuanya juga kecewa dengan sistem pendidikan di indonesia). Berbagai upaya dilakukan agar izza mau kembali bersekolah, bahkan tidak jarang terjadi pertentangan antara orang tua dan izza.

Nabi Muhammad, Einstein, Thomas A. Edison, Bill Gates adalah tokoh-tokoh yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Tetapi apa yang dialami oleh tokoh-tokoh tersebut sungguh luar biasa. Nabi Muhammad dengan semangat dan tekadnya mampu membuat Islam berjaya di sepertiga wilayah dunia, Einsten yang tidak menyukai matematika mampu menciptakan rumus relativitas yang konon sampai saat ini hanya mampu dipahami oleh 12 orang, Thomas A. Edison memberikan kontribusi besar sehingga bumi ini tidak berselimut gelap, dan Bill Gates menjadi orang terkaya di dunia berkat keinginan kuat untuk membawa komputer di setiap rumah di seluruh dunia. Hebatnya tokoh-tokoh yang disebutkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal seperti sekolah, kalaupun pernah tidak sampai selesai. Hal ini menjadi contoh sekaligus argumen bagi Izza kepada orang tuanya. Bahwa keberhasilan dan kebahagiaan dapat diraih tanpa harus bersekolah. Sekolah hanya menciptakan pribadi yang pragmatik (setelah lulus SD lanjut ke SMP kemudian SMA dilanjutkan ke Perguruan Tinggi, S2, S3, bekerja dan selesai). Belajar bagi Izza tidak hanya wajib 9 tahun, 13 tahun atau 16 tahun. Pendidikan baginya wajib berjalan sepanjang hayat. Konflik yang mendera batin Izza selama 12 tahun akhirnya berbuah seiring dengan luruhnya hati orang tuanya. Dengan bijak, orang tuanya akhirnya memberanikan diri untuk mengizinkan anaknya tidak sekolah. Read, Write, Imagine adalah sebuah trilogi karya perdana Izza. Ia masih memiliki keinginan untuk menciptakan sebuah karya tulis yang memiliki pengaruh kepada pembaca di seluruh dunia.

Tulisan di atas bukan berarti kampanye untuk bersama-sama menolak sekolah. Tetapi bahwa apa yang dialami oleh Izza kiranya dapat menjadi hikmah bagi banyak pihak. Terutama bagi Orang tua yang sudah selayaknya tidak lagi memaksakan kehendaknya kepada anak dan lebih mampu untuk mengenali potensi, minat serta kelebihan anak. Pemerintah ditantang untuk dapat menciptakan kurikulum yang mencerdaskan juga memberdayakan guru yang membuat betah anak didiknya berada di dalam kelas. Karena sejatinya pendidikan mampu menggali mutiara terpendam dalam diri seorang anak. Seperti apa yang dikatakan oleh Erich Fromm; Pendidikan seharusnya membantu anak mengeluarkan pelbagai potensinya…

Dikutip dari buku: Dunia Tanpa Sekolah. Read: Bandung

0 comments:

Post a Comment